How American International Lawyers Prepared for the San Francisco Bill of Rights

1995 ◽  
Vol 89 (3) ◽  
pp. 540-553 ◽  
Author(s):  
Louis B. Sohn

Too much has been written lately about the limited approach to human rights at Dumbarton Oaks, the struggle at the San Francisco Conference, and the great flowering of declarations, conventions, covenants and instruments to implement them in the last fifty years. Instead of adding another retelling of these more than twice-told tales, this essay tries to look at the origin of two less known contributions to the law of human rights—the broad nondiscrimination clause which added a more practical meaning to the vague “human rights and fundamental freedoms” phrase; and the bold addition of economic and social rights to the more traditional civil and political rights.

1968 ◽  
Vol 62 (4) ◽  
pp. 889-908 ◽  
Author(s):  
José A. Cabranes

On December 16, 1966, the General Assembly approved three agreements designed to establish a global system of enforceable treaty obligations with respect to fundamental human rights. These agreements are the second part of the “international bill of rights” proposed at the San Francisco Conference. Eighteen years separated the adoption of these agreements—the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, the International Covenant on Civil and Political Rights, and the Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights—and the approval in 1948 of the first part of the projected United Nations program for the protection of human rights, the non-binding Universal declaration of Human Rights.


Author(s):  
Bikundo Edwin

This chapter delves into one specific crime—enslavement as a crime against humanity. It argues that the law has drawn heavily on civil and political rights, neglecting economic, social, and cultural ones. The law surrounding slavery furthermore has drawn on some basic contrasts: notably separating the concept of ‘human’ (a human being) from ‘person’ (a bearer of legal personality and rights). Another distinction is between ‘status’ and ‘condition’. The law has tended to focus on status, i.e., legal non-recognition of personhood, which has affinities with civil and political rights. The chapter argues that the law has given much less attention to ‘condition’, which looks at the person’s material conditions in fact, and which has affinities with economic and social rights. A re-imagined law better encompassing economic and social rights would be more ideologically neutral, more in keeping with human rights law, and more in keeping with the lived experiences of African would-be migrants. Thus, this chapter emphasises that recognition in law is not enough; one must also look at the material conditions of life, the deprivation of which enables enslavement.


1985 ◽  
Vol 11 (1) ◽  
pp. 73-89
Author(s):  
Christopher Brewin

These excellent books mark the reception in American thinking of the doctrine that economic and social rights (Shue, Brown/Maclean, Hoffmann, Vogelgesang, Falk) are at least as important as the civil and political rights of Henkin's ‘International Bill of Rights’. The English contribution to this literature, the collection of documents edited by Brownlie, makes no distinction between sets of rights; and by reprinting work by Prebisch and Figueres, Brownlie promotes the thesis that development and human rights go together. However, it is worth noticing that all these authors ignore the efforts by the majority of countries in the UN General Assembly and the Commission on Human Rights to assert the related concept of rights to development, notably in GA Resolution 32/130 (1977).


ADALAH ◽  
2017 ◽  
Vol 1 (9) ◽  
Author(s):  
Latipah Nasution

Indonesia sebagai negara yang berdasarkan hukum (rechstat), mempunyai konsekuensi yakni adanya supremasi hukum. Ini artinya, setiap tindakan administrasi negara harus berdasarkan hukum yang berlaku, selain harus memberikan kepastian hukum (asas legalitas). Sistem demokrasi yang berlandaskan hukum dan berkedaulatan rakyat menjadi dasar kehidupan dalam berbangsa dan bernegara. Demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang dianut oleh Indonesia menyatakan bahwa suatu pemerintahan dipimpin oleh rakyat, dari rakyat, dan untuk rakyat. Bentuk pengejawantahan dari sistem demokrasi adalah diselenggarakannya Pemilu secara langsung. Adapun landasan dasar dilaksanakannya pemilu adalah pasal 22 E ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 yang telah mengamanatkan diselenggarakannya pemilu dengan berkualitas, mengikutsertakan partisipasi rakyat seluas-luasnya atas prinsip demokrasi yakni langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil melalui suatu perundang-undangan (Handayani, 2014: 1). Pemilihan umum sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, jujur, dan adil dengan menjamin prinsip perwakilan, akuntabilitas dan legitimasi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.  Dinamika pada pemilihan umum seringkali diwarnai dengan isu mahar politik oleh para kontestan politik, sebagaimana dipublikasi diberbagai media di Indonesia. Praktik mahar politik dapat dipahami sebagai transaksi dibawah tangan yang melibatkan pemberian sejumlah dana dari calon pejabat tertentu untuk jabatan tertentu dalam pemilu partai politik sebagai kendaraan politiknya (Susilo, 2018: 155). Pemilihan umum sejatinya merupakan sebuah arena yang mewadahi para calon kandidat dalam kontestasi politik yang meraih kekuasaan partisipasi rakyat untuk menentukan pilihan dan sebagai penyalur hak sosial dan politik masyarakat itu sendiri (Simamora, 2014: 2).Pelaksanaan pemilu memberikan harapan rakyat dengan lahirnya seorang pmimpin yang mampu menyejahterakan dan membahagiakan rakyat dengan beberapa kebijakan yang dibuatnya. Namun dalam proses pemilu seringkali dicederai oleh beberapa oknum dari para calon kandidat beserta tim suksesnya yang mengunakan segala cara untuk memenangkan kontestasi politik, selain mahar politik, money politic juga kerap menjadi isu hangat dalam kontestasi politik. Terjadinya politik uang bukan hanya pada pasangan kandidat, namun juga karena masyarakat yang berpikir instan seringkali tertarik dengan politik uang. Penegakan hukum dalam kasus ini perlu diperhatikan guna melestarikan pesta demokrasi yang bersih dari tindak pidana dalam pemilu (Hadi; Fadhlika; Ambarwati, 2018: 398).Prinsip demokrasi dan keadilan dalam pemilihan umum (electoral justice) adalah keterlibatan masyarakat merupakan hal yang mutlak. Hak masyarakat sangat mendasar dan asasi sifatnya. Hal ini diamini, sebagaimana dimuat dalam Universal Declaration of Human Right 1948 yang telah dijamin juga dalam konvenan dan turunannya, terlebih dalam Convenan on Civil and Political Rights and on Economic, Cultural and social Rights atau yang lumrah disebut dengan International Bill of Human Rights.  Dengan dicantumkannya hak dasar dalam pelaksanaan pemilu, maka berlaku pula prinsip-prinsip integritas pemilu  yang mensyaratkan adanya pemantauan masyarakat yang independen dan penyelenggaraan pemilu yang transparan dan akuntabel. Hal ini serupa pentingnya dengan prinsip lain yang juga harus ditetapkan oleh institusi penyelenggara (KPU) dengan memiliki standar perilaku dan beretika, serta mampu menerapkan aturan secara adil tanpa pandang bulu.Untuk menjamin agar pemilu berjalan sesuai dengan ketentuan dan asas pemilu, diperlukan suatu pengawalan terhadap jalannya setiap tahapan pemilu. Dalam konteks pengawasan pemilu di Indonesia, pengawasan terhadap proses pemilu dilembagakan dengan adanya lembaga Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Pengawasan dari Bawaslu adalah bentuk pengawasan yang terlembaga dari suatu organ Negara.Terlepas dari aturan tentang pemilihan umum yang diatur sedemikan rupa untuk memberikan kedaulatan bagi rakyat itu sendiri dalam penyelenggaraan pemilihan umum, pada prakteknya terdapat banyak permasalahan yang pada akhirnya mengurangi, merampas, dan meniadakan kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan pemilu. Pemerintahan yang seharusnya berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat berubah menjadi pemerintahan yang berasal, dari, dan untuk kepentingan kelompok tertentu. Hal yang paling mencolok terjadi dalam pemilihan presiden dan wakil presiden yakni Black Campaign. Permasalahan penyelenggaraan pemilihan umum yang berakibat pada  kedaulatan rakyat seperti money politic, budaya money politic marak terjadi dimana – mana dan bukan lagi merupakan rahasia umum. Praktik politik uang terjadi pada saat pengusungan calon yang dilakukan partai dan pada saat pencarian dukungan langsung dari rakyat. Rakyat dibayar, disuap, untuk memilih calon tertentu. Dengan demikian, rakyat dalam menentukan pilihannya tidak lagi dalam kehendak bebas, kesadaran akan bangsa dan negara, maupun dalam pengendalian penuh atas dirinya. Money politic meniadakan prinsip kedaulatan rakyat dalam pemilihan umum. Suara yang diberikan tidak berdasarkan prinsip jujur dan adil.


2020 ◽  
Vol 12 (2) ◽  
pp. 268-275
Author(s):  
Eda Seyhan

Abstract In response to the rise of ‘populism’ and the perceived threat to human rights that it represents, human rights advocates have argued that NGOs must speak to the economic anxieties of majority populations by increasing work on economic and social rights. In this essay, I present a counter-argument to this proposal, drawing on insights from the COVID-19 pandemic and my experiences working at Amnesty International and monitoring emergency powers during the pandemic for Covid State Watch. I argue that international human rights NGOs should retain a focus on civil and political rights for three reasons. The COVID-19 pandemic has (1) revealed and reinforced the vast repressive power of the state and consequent serious risks to civil and political rights in the global North and (2) demonstrated that human rights NGOs are often alone in challenging restrictions to civil and political rights, especially during crises. I further suggest that, in contrast to the civil and political rights sphere, (3) human rights NGOs offer little ‘value added’ in the field of economic and social rights in the global North. I conclude by proposing that human rights serve their most useful function when they protect those who few others are willing to defend, such as the vector of disease, the terrorist and the criminal.


2002 ◽  
Vol 30 (4) ◽  
pp. 734-738 ◽  
Author(s):  
Eileen O’Keefe ◽  
Alex Scott-Samuel

While the importance of civil and political rights to health advocates is widely acknowledged, economic and social rights are not yet securely on advocates’ agenda. Health impact assessment is an approach that can promote an appreciation of their importance. This paper introduces health impact assessment, gives examples of how it is being used, links its development to a focus on inequalities in health status, indicates the insufficiency of civil and political rights to protect health, and shows that the use of health impact assessment draws attention to economic and social rights. While civil and political rights are an astonishing social achievement, they are not in themselves sufficient to promote health.


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document