<p>Significant decrease in rainfall caused extreme climate has significant impact on agriculture sector, especialy food crops production. It is one of reason and push developing of rainfall prediction models as anticipate from extreme climate events. Rainfall prediction models develop base on time series data, and then it has been included anomaly aspect, like rainfall prediction model with Kalman filtering method. One of global parameter that has been used as climate anomaly indicator is sea surface temperature. Some of research indicate, there are relationship between sea surface temperature and rainfall. Relationship between Indonesian rainfall and global sea surface temperature has been known, but its relationship with Indonesian’s sea surface temperature not know yet, especialy for rainfall in smaller area like district. So, therefore the research about relationship between rainfall in distric area and Indonesian’s sea surface temperature and it application for rainfall prediction is needed. Based on Indonesian’s sea surface temperature time series data Januari 1982 until Mei 2006 show there are zona of Indonesian’s sea surface temperature (with temperature more than 27,6 0C) dominan in Januari-Mei and moved with specific pattern. Highest value of spasial correlation beetwen Cilacap’s rainfall and Indonesian’s sea surface temperature is 0,30 until 0,50 with different zona of Indonesian’s sea surface temperature. Highest positive correlation happened in March and July. Negative correlation is -0,30 until -0,70 with highest negative correlation in May and June. Model validation resulted correlation coeffcient 85,73%, fits model 20,74%, r2 73,49%, RMSE 20,5% and standart deviation 37,96. Rainfall prediction Januari-Desember 2007 period indicated rainfall pattern is near same with average rainfall pattern, rainfall less than 100/month. The result of this research indicate Indonesian’s sea surface temperature can be used as indicator rainfall condition in distric area, that means rainfall in district area can be predicted based on Indonesian’s sea surface temperature in zona with highest correlation in every month.</p><p>------------------------------------------------------------------</p><p>Penurunan curah hujan yang cukup signifikan akibat iklim ekstrim telah membawa dampak yang cukup signifikan pula pada sektor pertanian, terutama produksi tanaman pangan. Hal ini menjadi salah satu alasan yang mendorong semakin berkembangnya model-model prakiraan hujan sebagai upaya antipasi terhadap kejadian iklim ekstrim. Model prakiraan hujan yang pada awalnya hanya berbasis pada data time series, kini telah berkembang dengan memperhitungkan aspek anomali iklim, seperti model prakiraan hujan dengan metode filter Kalman. Salah satu indikator global yang dapat digunakan sebagai indikator anomali iklim adalah suhu permukaan laut. Dari berbagai hasil penelitian diketahui bahwa suhu permukaan laut ini memiliki keterkaitan dengan kejadian curah hujan. Hubungan curah hujan Indonesia dengan suhu permukaan laut global sudah banyak diketahui, tetapi keterkaitannya dengan suhu permukaan laut wilayah Indonesia belum banyak mendapat perhatian, terutama untuk curah hujan pada cakupan yang lebih sempit seperti kabupaten. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian yang mengkaji hubungan kedua parameter tersebut serta mengaplikasikannya untuk prakiraan curah hujan pada wilayah Kabupaten. Hasil penelitian berdasarkan data suhu permukaan laut wilayah Indonesia rata-rata Januari 1982 hingga Mei 2006 menunjukkan zona dengan suhu lebih dari 27,6 0C yang dominan pada bulan Januari-Mei dan bergerak dengan pola yang cukup jelas. Korelasi spasial antara curah hujan kabupaten Cilacap dengan SPL wilayah Indonesia rata-rata bulan Januari-Desember menunjukkan korelasi positip tertinggi antara 0,30 hingga 0,50 dengan zona SPL yang beragam. Korelasi tertinggi terjadi pada bulan Maret dan Juli. Sedangkan korelasi negatip berkisar antara -0,30 hingga -0,70 dengan korelasi negatip tertinggi pada bulan Mei dan Juni. Validasi model prakiraan hujan menghasilkan nilai koefisien korelasi 85,73%, fits model 20,74%, r2 sebesar 73,49%, RMSE 20,5% dan standar deviasi 37,96. Hasil prakiraan hujan bulanan periode Januari-Desember 2007 mengindikasikan pola curah hujan yang tidak jauh berbeda dengan rata-rata selama 19 tahun (1988-2006) dengan jeluk hujan kurang dari 100 mm/bulan. Hasil penelitian mengindikasikan bahwa SPL wilayah Indonesia dapat digunakan sebagai indikator untuk menunjukkan kondisi curah hujan di suatu wilayah (kabupaten), artinya curah hujan dapat diprediksi berdasarkan perubahan SPL pada zona-zona dengan korelasi yang tertinggi pada setiap bulannya.</p>