<p>Al-Qur’an and Sunnah, needs of understanding and extracting optimally, so that the contents of law can be applied for the benefit of people. The way- to understand and to extract the contents in these two sources- called <em>ijtihād</em>. Thus, <em>ijtihād</em> is needed on <em>istinbāṭ</em> of law from many arguments of the texts (<em>naṣ</em>), eventhough it is <em>qaṭ’ī</em> in which the uṣūliyyūn have agreed that it is not the area for re-extracting to the law (<em>ijtihādiyyah</em>). The problem in this case is that even a <em>qaṭ’ī</em> argument according to the most of uṣūliyyūn has not been <em>qaṭ’ī</em> argument in the other <em>uṣūliyyūn</em> opinion. Reconstruction of <em>ijtihād</em> becomes an alternative, with some considerations: <em>First</em>, weight and tightening the requirements to become a mujtahid, which is almost impossible controlled by someone at the present time; <em>Second</em>, the increasing complexity of the problems faced by the ummat which is very urgent to get the solution; <em>Third</em>, let the period without <em>ijtihād</em> (vacuum of mujtahid) is contrary to the basic principles of Islamic law are always <em>sāliḥ li kulli</em> <em>zamān wa makān</em>. This paper present to discuss further about the urgency of the reconstruction of <em>ijtihād</em> in the challenge of modernity.</p><p>***</p><p>Al-Qur<ins cite="mailto:hasan" datetime="2015-02-17T11:11">’</ins>an maupun <ins cite="mailto:hasan" datetime="2015-02-17T11:11">s</ins>unnah sangat membutuhkan pemahaman dan penggalian secara optimal agar isi kandungan hukumnya dapat diterapkan bagi kemaslahatan umat. Cara untuk menggali dan mengeluarkan isi kandungan yang ada dalam kedua sumber tersebut dinamakan <em>ijtihād</em>. <em>Ijtihād</em> sangat dibutuhkan pada setiap <em>isti<ins cite="mailto:muthohar" datetime="2015-01-29T05:30">n</ins><del cite="mailto:muthohar" datetime="2015-01-29T05:30"></del>bāṭ </em>hukum dari dalil <em>naṣ</em>, sekalipun dalil <em>naṣ</em> tersebut bersifat <em>qaṭ'ī</em> yang oleh para <em>uṣūliyyūn</em> sudah disepakati tidak menjadi wilayah untuk dijitihadi lagi. Permasalahannya adalah bahwa sesuatu dalil <em>naṣ</em> yang sudah bersifat <em>qaṭ'ī</em> sekalipun oleh sebagian besar <em>uṣūliyyūn</em>, belum tentu dipandang <em>qaṭ'ī</em> oleh sebagian <em>uṣūliyyūn</em> yang lain. Rekonstruksi <em>ijtihād</em> menjadi sebuah alternatif, dengan beberapa pertimbangan: <em>Pertama</em>, berat dan ketatnya persyaratan-persyaratan menjadi seorang mujtahid, yang hampir tidak mungkin dikuasai oleh seseorang pada masa sekarang; <em>Kedua</em>, semakin kompleksnya permasalahan yang dihadapi oleh ummat yang sangat mendesak untuk mendapatkan solusi; <em>Ketiga</em>, membiarkan satu periode tanpa <em>ijtihād</em> (kevakuman mujtahid) adalah bertentangan dengan prinsip dasar hukum Islam yang selalu <em>sāliḥ li kulli zamān wa makān. </em>Tulisan ini hadir untuk mendiskusikan lebih jauh tentang urgensi rekonstruksi <em>ijtihād</em> dalam menghadapi tantangan modernitas.</p><p>***</p><p>Keywords: <em>ijtihād</em><em>, qaṭ'ī, ẓannī</em><em>, uṣūl al-fiqh</em></p>