It has been almost two years since the COVID-19 pandemic devastated Indonesia. This, of course, forces the community and the government to face various problems and new polemics. However, the government did not just let go and always tried to overcome it so that the burden on the community during the Covid-19 pandemic could be lighter. This article was created to know the law enforcement carried out by the government by following applicable laws and regulations in overcoming the problem of hoarding Covid-19 therapeutic drugs and to examine the factors that influence the law enforcement process against the criminal act of hoarding Covid-19 therapeutic drugs. The research methodology used is normative legal research, centered on the use of library materials as a source of information. This research uses a qualitative approach by combining data and collective information from various sources which is then developed from a sociological point of view. The perpetrators of hoarding Covid-19 therapeutic drugs can be charged with several articles of criminal law as regulated in-laws and regulations, including Law No. 7 of 2014, Law No. 36 of 2009, and so on, with a maximum prison sentence of 10 years. However, in practice, the law enforcement process is very dependent on several factors, such as legislation, law enforcement officers, the availability of facilities and facilities, as well as the community. The Covid-19 pandemic has put people in a state of panic and the need for medicines has increased drastically, so efforts are urgently needed to deter hoarders and hope that similar incidents will not happen again. Law enforcers need to make legal breakthroughs in cracking down on drug hoarders, and also make other efforts such as revocation of permits, fines, and confiscation of stockpiled drugs to be subsequently given to people in need, also need to consider the characteristics of one case with another by following scale of stockpiling and types of drugs.Hampir dua tahun lamanya Pandemi Covid-19 telah memporakporandakan Indonesia. Hal itu tentu memaksa masyarakat dan juga pemerintah untuk menghadapi berbagai permasalahan hingga polemik baru. Namun pemerintah lantas tak lepas tangan begitu saja dan selalu berusaha untuk mengatasinya agar beban masyarakat di masa pandemi Covid-19 dapat lebih diringankan . Artikel ini dibuat dengan tujuan untuk mengetahui penegakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam mengatasi masalah penimbunan obat terapi Covid-19 serta menelaah faktor-faktor yang berpengaruh pada proses penegakan hukum terhadap tindak pidana penimbunan obat terapi Covid-19. Metodologi penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, berpusat pada penggunaan bahan pustaka sebagai sumber informasi. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan mengkombinasikan data dan informasi kolektif dari berbagai sumber yang kemudian dikembangkan dengan sudut pandang sosiologis. Pelaku penimbun obat terapi Covid-19 dapat dijerat dengan beberapa pasal hukum pidana sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan, antara lain UU No. 7 Tahun 2014, UU No.36 Tahun 2009,dan lain sebagainya, dengan ancaman hukuman penjara maksimal 10 tahun. Namun pada prakteknya proses penegakan hukum sangat bergantung pada beberapa faktor seperti peraturan perundang-undangan, aparat penegak hukum, ketersediaan sarana dan fasilitas serta masyarakat. Pandemi Covid-19 telah membuat masyarakat berada dalam kepanikan dan kebutuhan obat-obatan pun meningkat drastis, sehingga sangat diperlukan daya upaya agar para penimbun menjadi jera dan kejadian serupa diharapkan tidak terulang kembali. Penegak hukum perlu melakukan terobosan hukum dalam menindak tegas penimbun obat, dan juga melakukan upaya lain seperti pencabutan izin, sanksi denda, dan penyitaan obat-obatan yang ditimbun untuk selanjutnya diberikan kepada masyarakat yang membutuhkan, juga perlu mempertimbangkan karakteristik kasus satu dengan yang lain sesuai dengan skala penimbunan dan jenis obat-obatannya.