Menakar Konstitusionalitas Syari’at Islam dan Mahkamah Syar’iyah di Provinsi Aceh
Salah satu point penting yang diatur dalam perjanjian Helsinki terkait dengan penegakan hukum di Aceh adalah diberlakukannya Qanun dengan tujuan untuk menghormati tradisi sejarah Islam dan adat istiadat rakyat Aceh yang mayoritas muslim. Selain itu, untuk mensinergikan antara Qanun dengan pengadilan, maka di Provinsi Aceh dibentuk suatu sistem peradilan Syar’iyah yang tidak memihak dan independen, termasuk pengadilan tinggi yang tetap merupakan bagian dari sistem peradilan Republik Indonesia. Pembentukan Pengadilan Syar’iyah di Provinsi Aceh merupakan salah satu upaya untuk membuat kekhususan sebagaimana diatur dalam perjanjian Helsinki pada tahun 2005. Namun, dalam dataran teknis pengaturan manajemen pengadilan Syar’iyah juga masih terkendala khususnya oleh karena adanya dua aturan hukum yang berlaku yaitu Qanun yang dibuat oleh Dewan Perwakilam Rakyat Daerah Provinsi Aceh dan undang-undang yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat beserta Presiden. Hal tersebut berakibat Undang-Undang Pemerintahan Aceh yang mengatur tentang teknis pengaturan pengadilan Syar’iyah dan pembuatan Qanun juga banyak di lakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Tulisan ini bertujuan untuk melakukan analisa tentang efektifitas pemberlakukan Qanun dan pengadilan Syar’iyah di Provinsi Aceh pasca di undangkannya Undang-Undang Pemerintahan Aceh. Adapun tulisan ini dibuat dengan menggunakan metode penulisan normatif dengan pendekatan studi historis dan pendekatan studi kasus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengadilan Syar’iyah yang telah dibentuk di Provinsi Aceh meski pada awalnya mengalami kendala namun dapat berjalan baik. Adanya kekhususan yang diberikan kepada Provinsi Aceh merupakan bagian dari upaya untuk menjalankan amanat konstitusi khususnya Pasal 18B UUD 1945.Kata kunci: Qanun, Pemerintahan Aceh, Mahkamah Syar’iyah, Mahkamah Konstitusi. Abstract One crucial point stipulated in the Helsinki agreement related to law enforcement in Aceh is the enactment of the Qanun with the aim of respecting Islamic historical traditions and the customs of the Acehnese people who are predominantly Muslim. Besides, to synergise between the Qanun and the court, in the Province of Aceh a Syar'iyah justice system was formed which was impartial and independent, including a high court which remained part of the judicial system of the Republic of Indonesia. The establishment of the Shariah Law in Aceh Province was one of the efforts to make it specific as stipulated in the Helsinki agreement in 2005. However, in the field of technical management of the Syariah court management is also still constrained especially due to the existence of two applicable laws namely the Qanun made by the Aceh Province Regional People's Representative Council and laws made by the House of Representatives and the President. This resulted in the Law on the Government of Aceh governing the Syar'iyah court and the Qanun being judged by the Constitutional Court. This paper aims to analyse the effectiveness of the implementation of Qanun and the Syar'iyah court in Aceh Province after the enactment of the Law on the Governing of Aceh. The writing is made using normative writing methods with historical study approaches, and case study approaches. The results of the study showed that the Syar'iyah court which had been formed in the Aceh Province even though initially had problems but could work well. The specificity given to the Aceh Province is part of an effort to carry out the mandate of the constitution, especially Article 18B of the 1945 Constitution.