Pada pokoknya, persekongkolan tender merupakan salah satu bentuk persekongkolan yang dilarang UU Nomor 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dan juga menjadi perkara yang paling sering diproses KPPU. Namun baik secara teoritis maupun praktik menimbulkan permasalahan yaitu karena adanya pemaknaan yang bias akan frasa “pihak lain” dalam Pasal 22 UU Nomor 5/1999. Hal inilah yang melatarbelakangi adanya pengujian Pasal 22 ke MK. Dalam penulisan ini yang dibahas yaitu bagaimana pengaturan persekongkolan tender menurut peraturan perundang-undangan, bagaimanakah implikasi yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XIV/2016 tentang pengujian Pasal 22 UU Nomor 5/1999 serta bagaimana analisis hukum terhadap pertimbangan hukum Putusan MK tersebut. Penelitian ini menggunakan penelitian yuridis normatif dimana obyek penelitian ini adalah peraturan perundang-undangan dan Putusan MK. Dalam hal ini Penulis menyimpulkan, yaitu, Pertama, persekongkolan tender yang merupakan suatu bentuk kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk menguasai pasar yang bersangkutan dan/atau memenangkan peserta tender yang mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat diatur secara eksplisit dalam Pasal 1 angka 8 dan Pasal 22 UU Nomor 5/1999 serta Peraturan KPPU Nomor 2/2010, Kedua, Implikasi yuridis Putusan MK Nomor 85/PUU-XIV/2016 bermanfaat untuk menjamin kepastian hukum dan keadilan bagi para pihak seperti pengusaha utamanya masyarakat. Untuk itu, perlu adanya harmonisasi antara satu peraturan dengan peraturan lainnya, pengujian UU terhadap UUD terkait pengaturan persekongkolan tender dalam persaingan usaha tidak sehat ataupun revisi terhadap UU Nomor 5/1999.Principally, tender conspiracy is one form of conspiracy that subjected by the Law No. 5/1999 on The Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Business Competition, and also as a type of case that frequently occurred and processed by the KPPU. However, in theory, and in practice, there are some issues that plague the regulation, because of the occurrence of bias and unclear interpretation of the phrases “other parties” contained in Article 22 of Law 5/1999. This interpretation issue then became the background in the petition for review of Article 22 to the Constitutional Court. This paper mainly discussed the regulation of tender conspiracy according to the existing Law, and also to study the juridical implications of Constitutional Court Decision Number 85/PUU-XIV/2016 concerning the review of Article 22 Law 5/1999. This paper also delves into the legal analysis of the court considered in the aforementioned Decision. This paper utilized the means of normative juridical research methodology, with the existing regulations and Constitutional Court Decision as the object of research. In the paper, the writer concludes that, first, tender conspiracy is a form of cooperation between one party or more to control particular market and/or to determine the awardees of tenders which may cause unfair business competition explicitly regulated in Article 1 number 8 and Article 22 Law 5/1999 and also the KPPU Regulation Number 2/2010, second, the juridical implications of Constitutional Court Decision Number 85/PUU-XIV/2016 was necessary in order to guarantee the equitable legal certainty and fairness toward all parties especially business practising citizens. Thus, there is a necessity to achieve harmony among these regulations, which can be obtained through the judicial review of laws against the Constitution concerning the regulations of tender conspiracy and by means of legislative revision toward Law 5/1999.