scholarly journals faktor risiko kejadian miopia anak (<20 tahun) di balai kesehatan mata masyarakat kota makassar

2019 ◽  
Vol 4 (2) ◽  
pp. 141
Author(s):  
A. fitria Nur Annisa ◽  
A. zulkifli Abdullah ◽  
Syamsiar R Russeng

Jumlah kasus Kelainan Refraksi di BKMM Kota Makassar tahun 2016 sebanyak 8105 kasus (29%). Penelitian bertujuan untuk menilai besar risiko jenis kelamin, riwayat keluarga, kebiasaan membaca buku dan kebiasaan menonton televisi terhadap kejadian miopia pada anak (<20 tahun) di BKMM Kota Makassar Tahun 2017. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan rancangan case control study. Penarikan sampel dilakukan dengan teknik sistematik random sampling dengan jumlah sampel sebanyak 164 orang anak (<20 tahun) yang terdiri dari 82 kasus dan 82 kontrol. Data dianalisis menggunakan uji Odds Ratio dan multiple logistic regression. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor yang berisiko terhadap kejadian miopia, yaitu jenis kelamin (OR= 2,939; 95%CI: 1,543-5,600), riwayat keluarga (OR= 3,839; 95%CI: 1,961-7,518), jarak membaca buku (OR= 8,517; 95%CI: 3,764-19,273), durasi membaca buku (OR= 3,546; 95% CI: 1,662-7,565), jarak menonton televisi (OR= 3,864; 95%CI: 1,518-5,403) dan durasi menonton televisi (OR= 7,474; 95%CI: 3,463-16,129). Hasil analisis regresi logistik menunjukkan bahwa durasi menonton televisimerupakan faktor yang paling berisiko terhadap kejadian miopia (OR= 18,457; 95%CI: 5,081-67,050). Kesimpulannya, variabel jenis kelamin, riwayat keluarga, kebiasaan membaca buku dan kebiasaan menonton televisi merupakan faktor risiko kejadian miopia anak (<20 tahun) di BKMM Kota Makassar.

2020 ◽  
Vol 22 (1) ◽  
pp. 6-14
Author(s):  
Matthew I Hardman ◽  
◽  
S Chandralekha Kruthiventi ◽  
Michelle R Schmugge ◽  
Alexandre N Cavalcante ◽  
...  

OBJECTIVE: To determine patient and perioperative characteristics associated with unexpected postoperative clinical deterioration as determined for the need of a postoperative emergency response team (ERT) activation. DESIGN: Retrospective case–control study. SETTING: Tertiary academic hospital. PARTICIPANTS: Patients who underwent general anaesthesia discharged to regular wards between 1 January 2013 and 31 December 2015 and required ERT activation within 48 postoperative hours. Controls were matched based on age, sex and procedure. MAIN OUTCOME MEASURES: Baseline patient and perioperative characteristics were abstracted to develop a multiple logistic regression model to assess for potential associations for increased risk for postoperative ERT. RESULTS: Among 105 345 patients, 797 had ERT calls, with a rate of 7.6 (95% CI, 7.1–8.1) calls per 1000 anaesthetics (0.76%). Multiple logistic regression analysis showed the following risk factors for postoperative ERT: cardiovascular disease (odds ratio [OR], 1.61; 95% CI, 1.18–2.18), neurological disease (OR, 1.57; 95% CI, 1.11–2.22), preoperative gabapentin (OR, 1.60; 95% CI, 1.17–2.20), longer surgical duration (OR, 1.06; 95% CI, 1.02–1.11, per 30 min), emergency procedure (OR, 1.54; 95% CI, 1.09–2.18), and intraoperative use of colloids (OR, 1.50; 95% CI, 1.17–1.92). Compared with control participants, ERT patients had a longer hospital stay, a higher rate of admissions to critical care (55.5%), increased postoperative complications, and a higher 30-day mortality rate (OR, 3.36; 95% CI, 1.73–6.54). CONCLUSION: We identified several patient and procedural characteristics associated with increased likelihood of postoperative ERT activation. ERT intervention is a marker for increased rates of postoperative complications and death.


2019 ◽  
Vol 3 (1) ◽  
pp. 20-29
Author(s):  
Safun Rahmanto ◽  
Khaiyatul Aisyah

ABSTRAK Latar belakang : Osteoartritis merupakan salah satu penyakit degenerative yang ditandai dengan hilangnya tulang rawan articular dan terjadi peradangan sinovial yang menyebabkan kekakuan sendi, nyeri dan kehilangan mobilitas sendi. Ada banyak faktor risiko osteoarthritis lutut, salah satunya  adalah riwayat cidera lutut. Cidera lutut menurunkan kestabilan sendi lutut pada bantalan beban tubuh. Cidera lutut meningkatkan risiko osteoarthritis pada area kontak tibiofemoral dan tekanan pada  cidera meniscal, sehingga menyebabkan unstabil sendi berupa ligament sprain dan lesi pada chondral atau dengan mengganggu sistem neuromuskular. Individu dengan riwayat trauma sendi 3-6 kali lebih berpotensi terjadinya osteoarthritis lutut. Dalam 5 tahun cedera, lutut mengalami perubahan struktural seperti, perubahan komposisi tulang rawan, dan perubahan pada struktur  ulang. Tujuan Penelitian : Menganalisis hubungan antara riwayat cidera lutut terhadap pasien yang berpotensi osteoarthritis lutut di Puskesmas Dinoyo Kota Malang.  etode Penelitian : Desain penelitian menggunakan Case Control Study dengan jumlah sampel 120 responden di Puskesmas Dinoyo Kota Malang yang  diambil dengan metode Simple Random Sampling. Pengambilan data untuk mengetahui riwayat cidera lutut dinilai dengan kuesioner OA Risk C dan wawancara mendalam. Potensi adanya osteoarthritis lutut dinilai menggunakan pemeriksaan fisik, skala jette dan data sekunder dari Puskesmas Dinoyo Kota Malang. Hasil : Hasil penelitian dengan uji Chi-Square terhadap Riwayat cidera lutut dikaitkan dengan osteoarthritis lutut dalam penelitian ini didapatkan nilai signifikan lebih kecil dari alpha 5% (0,00 < 0,05) dengan Odds Ratio [OR= 5,82 (95% CI 2,54-13,35)]. Kesimpulan : Terdapat hubungan yang signifikan antara riwayat cidera lutut terhadap pasien yang berpotensi osteoarthritis lutut di Puskesmas Dinoyo Kota Malang dan orang yang  memiliki riwayat cidera lutut berpeluang 5  kali lebih besar menderita osteoarthritis lutut daripada orang yang tidak memiliki riwayat cidera lutut.  


Blood ◽  
1993 ◽  
Vol 82 (9) ◽  
pp. 2714-2718 ◽  
Author(s):  
DW Kaufman ◽  
JP Kelly ◽  
CB Johannes ◽  
A Sandler ◽  
D Harmon ◽  
...  

Abstract The relation of acute thrombocytopenic purpura (TP) to the use of drugs was investigated in a case-control study conducted in eastern Massachusetts, Rhode Island, and the Philadelphia region; 62 cases over the age of 16 years with acute onset and with a rapid recovery were compared with 2,625 hospital controls. After control for confounding by multiple logistic regression, use of the following drugs in the week before the onset of symptoms was significantly associated: trimethoprim/sulfamethoxazole (relative risk [RR] estimate, 124), quinidine/quinine (101), dipyridamole (14), sulfonylureas (4.8), and salicylates (2.6). The overall annual incidence of acute TP was estimated to be 18 cases per million population. The excess risks for the associated drugs were estimated to be 38 cases per million users of trimethoprim/sulfamethoxazole per week, 26 per million for quinidine/quinine, 3.9 per million for dipyridamole, 1.2 per million for sulfonylureas, and 0.4 per million for salicylates. Associations with sulfonamides, quinidine/quinine, sulfonylureas, and salicylates have been previously reported, but the present study has provided the first quantitative measures of the risk. The association with dipyridamole was unexpected. In general, despite large RRs, the incidence rates attributable to the drugs at issue (excess risks) were low, suggesting that TP is not an important consideration in the use of the various drugs.


2020 ◽  
Vol 11 (03) ◽  
pp. 395-402
Author(s):  
Thierry Adoukonou ◽  
Mendinatou Agbétou ◽  
Rachidi Imorou Sidi ◽  
Colombe Gnansounou ◽  
Donald Accrombessi ◽  
...  

Abstract Objective The main purpose of this article is to define prognosis of pregnancies in epileptic women in Benin. Methods This was a case–control study that included 54 epileptic women who had at least one pregnancy matched to 162 controls on age, pregnancy term, and monitoring center. Information about epilepsy, treatment, pregnancy, and childbirth were collected. A logistic regression with odds ratio (OR) calculation was used to study the association. Results During pregnancy 22.22% of epileptic women experienced an increase in seizure frequency. Epileptics had more frequent miscarriages (OR: 1.84 [1.01–3.51]), more incidents during pregnancy (OR: 4.03 [1.04–15.60]), and were more often hospitalized (OR: 3.35 [1.46–7.69]) than women without epilepsy. They, more often, had premature children before 37 weeks of amenorrhea (OR: 2.10 [1.12–3.91]) and gave birth to low-birth-weight children (OR = 2.17 [1.00–4.76]). Conclusion Occurrence of a pregnancy in an epileptic woman in Benin is at risk and requires multidisciplinary monitoring by both neurologist and obstetrician to reduce complications.


2019 ◽  
Vol 3 (2) ◽  
pp. 74-81
Author(s):  
Siti Surya Indah Nurdin ◽  
Dwi Nur Octaviani Katili ◽  
Zul Fikar Ahmad

Latar belakang: Stunting merupakan retardasi pertumbuhan linier kurang dari standar menurut usianya. Masalah stunting masih merupakan salah satu masalah terbesar di Kabupaten Gorontalo. Tujuan penelitian: Diketahuinya pengaruh faktor ibu, pola asuh, dan variasi MPASI terhadap kejadian stunting di Kabupaten Gorontalo. Metode: Desain penelitian menggunakan Case Control Study. Seluruh balita di Kabupaten Gorontalo menjadi Populasi studi. Sampel kasus merupakan balita yang menderita stunting, dan sampel kontrol adalah balita normal. Jumlah sampel sebanyak 118 balita. Sampel kasus dipilih dengan menggunakan purposive sampling dan sampel kontrol dipilih menggunakan random sampling. Data dianalisis dengan menggunakan uji Chi Square dan Logistic Regression. Hasil: pola asuh (OR = 3,901, 95% CI 1,692 – 8,994), variasi MPASI (OR = 3,260, 95% CI 1,371 – 7,750), riwayat KEK (OR = 2,482, 95% CI 1,013 – 6,081) dan pendidikan ibu (OR = 2,345, 95% CI 1,007 – 5,456). Umur ibu, pemberianASI Ekslusif, makanan pendamping ASI (MPASI), konsumsi snak hampir tiap hari, dan konsumsi mie instan 3 kali dalam seminggu bukan merupakan faktor risiko kejadian stunting. Simpulan: Faktor ibu yaitu pendidikan ibu, riwayat KEK, pola pemberian MPASI, dan pola asuh merupakan faktor risiko kejadian stunting.


2019 ◽  
Vol 5 (2) ◽  
pp. 45-50
Author(s):  
Ulfa Ultriani

Berdasarkan data dari program Kesehatan Ibu & Anak (KIA) Kabupaten atau Kota tahun 2018 di Provinsi Sulawesi Tenggara, jumlah kematian neonatal adalah 257 kasus dengan penyebab kematian diantaranya BBLR, asfiksia, kelahiran congenital, sepsis, ikterus  dan lain-lain. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian BBLR di ruang bersalin Rumah Sakit Umum Sekota Kendari. Penelitian dilakukan adalah penelitian kuantitatif dengan rancangan case control study. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh bayi yang lahir di ruang bersalin Rumah Sakit sekota Kendari pada tahun 2018 yang berjumlah 1.021 bayi. Jumlah sampel pada penelitian ini adalah 88 orang terbagi dua yakni 44 orang kelompok kasus dan 44 orang untuk kelompok kontrol. Penentuan sampel dilakukan dengan teknik simpel random sampling. Data diolah menggunakan uji chi square dan odds ratio. Hasil uji chi square menunjukkan bahwa anemia berhubungan dengan kejadian BBLR (pvalue =0,001, OR=4,610). Status gizi berhubungan dengan kejadian BBLR (pvalue =0,000, OR=6,359). Pelayanan antenatal berhubungan dengan kejadian BBLR (pvalue =0,003, OR=4,173). Adapun kesimpulan dalam penelitian ini adalah ada hubungan anemia, status gizi, umur ibu, pendapatan keluarga dan pelayanan antenatal dengan kejadian berat badan lahir rendah. Adapun yang menjadi saran dalam penelitian ini adalah Dinas Kesehatan diharapkan membuat kebijakan dan menerapkan kebijakan tentang program usia sehat untuk melahirkan anak dalam rangka pencegahan terhadap faktor risiko melahirkan bayi dengan BBLR. Kata Kunci    :  Berat Badan Lahir Rendah, Anemia, Status Gizi.


Author(s):  
Hairil Akbar ◽  
Eko Maulana Syaputra

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu masalah kesehatan di negara berkembang dan global. Penyakit DBD dikenal juga dengan istilah Dengue Haemoragic Fever (DHF), merupakan penyakit infeksi akut menular kepada manusia melalui perantara gigitan nyamuk Aedes yang mengandung virus dengue. Tujuan penelitian untuk mengetahui faktor risiko kejadian demam berdarah dengue (DBD) di Kabupaten Indramayu. Jenis penelitian ini adalah penelitian observasional analitik dengan menggunakan rancang bangun case control study. Populasi pada penelitian ini seluruh penduduk yang tinggal di Kabupaten Indramayu. Sampel penelitian terdiri dari sampel kasus dan kontrol yang terdiri dari 34 kasus dan 68 kontrol sehingga total keseluruhan sampel sebanyak 102 sampel. Teknik pengambilan sampel dipilih secara simple random sampling. Analisis data menggunakan uji statistik simple logistic regression. Hasil penelitian yaitu praktek 3M di rumah (p=0,020, OR=2,778; 95% CI:1,174-6,574) dan kebiasaan mengantung pakaian (p=0,015, OR=3,470; 95% CI:1,271-9,472) merupakan faktor risiko kejadian demam berdarah dengue (DBD) di Kabupaten Indramayu. Perlunya masyarakat melakukan upaya pencegahan penyakit DBD seperti mempraktekkan 3M di rumah, serta berperilaku hidup bersih dan sehat.


2018 ◽  
Author(s):  
Rahmah Tahir

Secara global 23% dari kematian neonatal dikaitkan dengan asfiksia lahir. Beberapa penelitian menyebutkan faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian asfiksia neonatorum diantaranya yaitu persalinan (ketuban pecah dini, partus lama, dan jenis persalinan).Penelitian ini bertujuan untukmengetahui risiko faktor persalinan dengan kejadian asfiksia neonatorum di RSUD Sawerigading Kota Palopo tahun 2012.Jenis penelitian yang digunakan adalah observasional dengan rancangan Case Control Study. Sampel penelitian ini adalah ibu yang melahirkan bayi dengan asfiksia neonatorum dan ibu yang melahirkan bayi tidak dengan asfiksia neonatorum. Cara pengambilan sampel dengan mengambil semua ibu yang melahirkan bayi dengan asfiksia neonatorum untuk kelompok kasus dan systematic random sampling untuk kelompok kontrol, dengan besar sampel 182. Perbandingan kasus dengan kontrol 1:1. Analisa data yang dilakukan adalah univariat dan bivariat dengan uji odds ratio(OR).Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketuban pecah dini (OR=2,471; 95%CI 1,333-4,581), partus lama (OR=3,417; 95%CI 1,541-7,576), dan jenis persalinan (OR=4,444; 95%CI 2,342-8,433).Petugas kesehatan yang menolong persalinan harus selalu siaga terhadap kondisi-kondisi yang dapat membahayakan ibu maupun bayi, utamanya ibu yang mengalami ketuban pecah dini, partus lama dan terdeteksi lahir prematur. Untuk itu dibutuhkan keterbukaan terhadap kondisi pasien sehingga ibu dapat lebih mempersiapkan diri dalam menghadapi persalinan. Peningkatan keterampilan petugas kesehatan melalui pelatihan tentang manajemen asfiksia neonatorum dan teknik resusitasi agar mengurangi kematian bayi akibat asfiksia neonatorum


2021 ◽  
Author(s):  
Jon Edman-Wallér ◽  
Sakari Suominen ◽  
Gunnar Jacobsson ◽  
Maria Werner

Abstract Background Clostridioides difficile spores are present in the hospital environment. We hypothesized that patient transfers between rooms is an independent risk factor for C. difficile infections (CDI), as this increases the environmental exposition. We performed a retrospective case-control study at a public 400-bed hospital in western Sweden. Methods Hospital-acquired CDI cases at Södra Älvsborg Hospital, Sweden, during two different years (n = 65) were included in the case group. A random, unmatched selection of patients tested negative for CDI served as control group (n = 101). The number of rooms each patient occupied during hospitalization was the primary variable. Odds ratios (OR) for CDI were calculated by simple and multiple logistic regression. Results The number of rooms occupied was not an independent risk factor (OR per room 1.1, 95 % CI: 0.8–1.4) when data were adjusted for duration of hospitalization, which was the only statistically significant variable (OR per additional week of care: 1.7, 95 % CI: 1.2–2.3) in the multiple logistic regression model. The risk associated with the duration of hospitalization was larger among patients who stayed in four or more rooms (OR per additional week of care: 2.5, 95 % CI: 1.1–5.6) than among patients that stayed in one room only (OR per additional week of care: 1.3, 95 % CI: 0.7–2.4). Conclusions The risk for C. difficile infections increase with time of care, and patient transfers might amplify the risk, although we could not prove it to be an independent risk factor in this limited case-control study.


Nursing Arts ◽  
2019 ◽  
Vol 11 (2) ◽  
pp. 16-21
Author(s):  
Radeny Ramdany ◽  
Elisabeth Samaran

Malaria merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit Genus Plasmodium yang ditularkan oleh nyamuk Anopheles. Hingga saat ini malaria masih menjadi masalah kesehatan global yang utama karena sering menimbulkan KLB, berdampak luas terhadap kualitas hidup dan ekonomi, serta dapat mengakibatkan kematian. Insiden malaria pada penduduk Indonesia tahun 2013 menurun dibanding tahun 2007 tetapi di Papua Barat mengalami peningkatan tajam. Hal ini menempatkan Papua Barat di posisi ke-3 propinsi dengan prevalensi malaria tertinggi setelah Papua dan Nusa Tenggara Timur dan Kota Sorong menjadidaerahdengan jumlah penderita malaria tertinggi di Propinsi Papua Barat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan status gizi dan perilaku masyarakat terhadap kejadian malaria di wilayah kerja Puskesmas Klasaman Kota Sorong. Hipotesis penelitian yaitu status gizi dan perilaku masyarakat berhubungan dengan kejadian malaria di wilayah kerja Puskesmas Klasaman Kota Sorong. Penelitian ini dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Klasaman Kota Sorong. Jenis penelitian adalah observasional analitik dengan desain case-control study. Variabel independen adalah status gizi, penggunaan kelambu, penggunaan obat anti nyamuk, dan kebiasaan berada di luar rumah pada malam hari, sedangkan variabel dependen adalah kejadian malaria.Sampel adalah penderita malaria sebanyak 144 yang terdiri dari 72 kasus dan 72 kontrol. Kasus adalah penderita malaria sedangkan kontrol bukan penderita malaria, dengan matching menurut umur dan jenis kelamin. Teknik penarikan sampel untuk kelompok kasus yaitu simple random sampling dan kelompok kontrol yaitu purposive sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara menggunakan kuesioner dan pengamatan menggunakan checklist. Uji statistik bivariat menggunakan Odds Ratio dengan α=0,05. Hasil penelitian menunjukkan bahwa status gizi, penggunaan kelambu, penggunaan obat anti nyamuk dan kebiasaan berada di luar rumah pada malam hari tidak memiliki hubungan yang bermakna terhadap kejadian malaria di wilayah kerja Puskesmas Klasaman Kota Sorong tahun 2016. Disarankan bagi peneliti selanjutnya untuk melakukan penelitian yang lebih luas dengan jumlah sampel yang lebih besar agar diketahui seberapa besar variabel tersebutmempengaruhi kejadian malaria, karena seperti yang kita ketahui bahwa penyakit malaria merupakan interaksi dari berbagai faktor yang berhubungan dengan status gizi dan perilaku termasuk penggunaan kelambu, obat anti nyamuk dan kebiasaan berada di luar rumah pada malam hari


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document