Indonesia pernah melalui masa sulit di rezim Orde Baru. Kala itu, segala sesuatu yang paralel dengan khususnya sejarah seputar perumusan dasar negara (Panca Sila), menjadi begitu sulit untuk diperoleh, apalagi untuk mengemukakan fakta yang sebenarnya. Penelusuran dokumen-dokumen sejarah begitu minim didukung pemerintah, dokumen-dokumen itupun tercecer di mana-mana, publik hanya diedukasi dengan pendidikan sejarah dari para sejarawan versi pemerintah saja. Bukan karena Orde Baru telah menjadi masa lalu, tetapi, karena apa yang disebut sebagai sumber-sumber primer perlu diperiksa kembali. Di antaranya seperti: Naskah UUD 1945, yang disusun M. Yamin; Risalah Sidang BPUPKI-PPKI yang disusun oleh Sekretariat Negara; Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI, yang disusun oleh Nugroho Notosusanto (dkk); Piagam Jakarta, yang disusun oleh Endang Saifuddin Anshari; Sejarah Pemikiran Tentang Panca Sila, yang disusun oleh Pranarka. Sumber-sumber ini diam-diam diterima, dan diam-diam pula diakui bermasalah, atau diragukan keotentikannya. Persoalan tersebut semakin diperjelas dengan temuan sejumlah arsip oleh para sejarawan tata negara seperti A.B. Kusuma, di mana sebelumnya, “Panitia Lima” (1975) telah pula menegaskan bahwa sumber-sumber yang dipakai pemerintah tidak valid, di antaranya adalah naskah yang disusun M. Yamin. Maka, sejarah perumusan Panca Sila kadang berada di jalan bersimpang, simpang batas-tegas pertentangan tentang keotentikan sumber sejarah, menjadi tugas utama agar sumber-sumber tersebut diuji satu dengan lainnya (metode heuristik dan konklusi eksplanatoris). Agar mengerucut satu kesimpulan yang utuh dan sistematis mengenai sejarah perumusan dasar negara dan pemikiran-pemikiran yang dikemukakan di dalamnya menjadi satu kesatuan pemahaman atas kenyataan, dan agar menguatkan sendi-sendi konstitusionalitas kita hari ini yang mulai tercerabut dari akar sejarahnya, bagaikan “inang yang dipaksa berpisah dari induknya”.Indonesia had been through a difficult period in the “Orde Baru” regime. At that time, everything parallel with history especially around the basic principle of the state (Panca Sila) became so difficult to obtain, especially to express the facts. The tracking of historical documents was so poorly endorsed by the government. The documents were scattered everywhere. The public was only educated with historical education from only government version historians. Not because the “Orde Baru” has become the past, but, because the so-called primary sources need to be checked again. Among them are: Naskah UUD 1945, compiled by M. Yamin; Risalah Sidang BPUPKI-PPKI, prepared by State Secretariat; Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI, compiled by Nugroho Notosusanto (et.al); Piagam Jakarta, prepared by Endang Saifuddin Anshari; Sejarah Pemikiran Tentang Panca Sila, prepared by Pranarka. The above sources are secretly accepted, and secretly admittedly problematic, or are doubted the authenticity. The issue was further clarified by the findings of archives by state historians such as A.B. Kusuma, in which before, the “Panitia Lima” (1975) had also asserted that the sources used by the government were invalid, one of them was the text compiled by M. Yamin. Thus, the history of Panca Sila sometimes in a stray way of disputes about the historical sources authenticity. That became the primary task for which resources were tested against each other (heuristic methods and explanatory conclusions). In order to conceal a whole and systematic conclusion about the history of the basic formulation of the state and the ideas expressed in it become a unity of understanding of reality, in order to strengthen the joints of our constitutionality today which begins to be uprooted from its historical roots, like “a host which is forced to apart from its main”.