HUPERETES: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen
Latest Publications


TOTAL DOCUMENTS

33
(FIVE YEARS 33)

H-INDEX

0
(FIVE YEARS 0)

Published By Sekolah Tinggi Teologi Kalimantan

2716-0688, 2716-4314

2022 ◽  
Vol 3 (1) ◽  
pp. 70-80
Author(s):  
Seri Damarwanti ◽  
Sapto Sunariyanti ◽  
Suwarni Suwarni ◽  
Lusia Pujiningtyas ◽  
Anthoneta Ratu Pa

Prinsip Keselamatan Kristen mengangkat isu persamaan hak antara pria dan wanita dimana keselamatan tidak ditentukan oleh perbedaan gender. Namun dalam tatanan masyarakat Jawa yang secara tradisi dan kultur masih didominasi oleh kaum pria, filosofi “swarga nunut, neraka katut” masih berakar erat dan memengaruhi persepsi wanita Jawa, khususnya yang masih memegang teguh tradisi. Masyarakat 5.0 membawa paradigma baru bahwa di tengah arus global–digital, teknologi hadir untuk lebih memanusiakan manusia dan mengembalikan harkat dan martabat manusia secara utuh. Bagaimana perkembangan teknologi yang mengubah tatanan kehidupan ini dapat dimanfaatkan dalam mentransformasi Misi Kristen pada wanita Jawa mengambil keputusan mandiri dalam keselamatan menjadi isu utama pembahasan. Metode untuk menjawab pertanyaan penelitian memakai metode studi Biblika dan riset literatur berbasis kontekstualisasi budaya dan implementasinya secara praktis di era Masyarakat 5.0 menjadi pilihan utama. Kesimpulan yang diambil mengarah pada kebenaran perlunya mengubah paradigma berpikir bahwa keselamatan merupakan keputusan pribadi yang tidak tergantung pada perbedaan gender dan ikatan tradisi. Kebaharuan penelitian ini terletak pada eksplorasi Biblika yang secara khusus menjawab filosofi Jawa tentang “swarga nunut, neraka katut” dengan memanfaatkan karakteristik era Masyarakat 5.0.The Christian Salvation Principle raises the issue of equal rights between men and women where salvation is not determined by gender differences. However, in Javanese society, which is traditionally and culturally still dominated by men, the philosophy of “swarga nunut, neraka katut” is still deeply rooted and influences the perception of Javanese women, especially those who still adhere to tradition. The era of society 5.0 brings a new paradigm that in the midst of global – digital flows, technology is present to more humanize humans and restore human dignity as a whole. How the development of technology and in life can be utilized in transforming the Christian mission for Javanese women to make independent decisions in safety is the main issue of discussion. Methods to answer research questions using Biblical study methods and literature research based on cultural contextualization and its practical implementation in the era of society 5.0 are the main choices. The conclusions drawn lead to the truth of the need to change the paradigm of thinking that salvation is a personal decision that does not depend on gender differences and traditional ties. The novelty of this research lies in the exploration of the Bible which specifically answers the Javanese philosophy of “swarga nunut, neraka katut”, by utilizing the characteristics of the era of society 5.0.


2022 ◽  
Vol 3 (1) ◽  
pp. 41-57
Author(s):  
Franky Tambuh

Gereja sebagai salah satu bentuk organisasi organik (hidup) membutuhkan pemimpin pastoral yang mampu menjalankan tugas dan tanggung jawab secara profesional. Kemampuan dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab tersebut menyangkut kompetensi interpersonal yang dimiliki oleh seorang pemimpin pastoral.Apabila memperhatikan dinamika kepemimpinan gereja pada saat ini, maka gereja tidak lepas dari krisis kepemimpinan, secara khusus berkaitan dengan kompetensi interpersonal pemimpin gereja. Pada akhirnya, hal ini berdampak negatif dalam pelayanan. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan bahwa kompetensi interpersonal seorang pemimpin sangat dibutuhkan dalam pelayanan pastoral. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian adalah metodedeskriptif dengan teknik pengumpulan data menggunakan metode studi literatur dan hermeneutik alkitabiah. Akhirnya, melalui penelitian ini ditemukan bahwa merujuk dari pelayanan Rasul Paulus, denganmenyoroti pelayanannya dari segala penjuru; dalam segala hal Paulus menunjukkan diri sebagai pelayan Allah yang memiliki kompetensi interpersonal. Teladan yang baik dalam pelayanan menunjukkan identitas kompetensi interpersonal Paulus sebagai pemimpin pastoral yang kuat dan berakar di dalam Kristus. Hal ini menjadikan Paulus seorang rasul yang dipakai Allah secara luar biasa serta berdampak, baik itu kepada pribadi-pribadi maupun kelompok-kelompok besar jemaat yang dilayaninya.The church as a form of organic (living) organization requires pastoral leaders who can carry out their duties and responsibilities professionally. The ability to carry out these duties and responsibilities concerns the interpersonal competence possessed by a pastoral leader. If you pay attention to the dynamics of church leadership at this time, the church cannot be separated from a leadership crisis, especially when it comes to the interpersonal competence of church leaders. In the end, this has a negative impact on service. The church, which should produce leaders who have interpersonal competence, is instead contaminated with various leadership problems; thus, impacting on service. This study aims to explain that the interpersonal competence of a leader is needed in pastoral care. The method used in this research is the descriptive method with data collection techniques using literature study methods and biblical hermeneutics. Finally, through this research, it was found that referring to the ministry of the Apostle Paul, who was highlighted by his ministry from all directions, showed himself to be a servant of God who had interpersonal competence. A good example in ministry shows the identity of Paul's interpersonal skills competence as a pastoral leader, who is strong and rooted in Christ. This makes Paul was greatly used by God and had an impact, both on individuals and on the large groups of churches he served.


2022 ◽  
Vol 3 (1) ◽  
pp. 25-40
Author(s):  
Arlando Ridel Sumual ◽  
Farel Yosua Sualang ◽  
David Pattinama

Kejadian 9 merupakan awal dari kisah perjanjian Allah dengan semua ciptaan-Nya di bumi setelah air bah, yang diwakilkan oleh Nuh. Kehidupan manusia sangat berharga di mata Tuhan, Allah menghendaki manusia untuk saling mengasihi bukan untuk saling membunuh, melalui kasih-Nya itu Allah mengadakan suatu perjanjian terhadapa pembalasan penumpahan darah pada manusia. Metode yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan hermeneutika studi kata, penelitian ini bertujuan untuk menemukan makna dari kata “Penumpahan Darah Berdasarkan Kejadian 9:6” dari berbagai perbedaan interpretasi yang terjadi terhadap arti dari teks ini. Hasil dari penelitian ini mengarah kepada mengambil nyawa manusia dengan sengaja dalam arti pelaku sudah memiliki niat untuk melakukan kejahatan tersebut serta sudah merencanakan secara rapih dan memiliki tekat untuk melakukan pembunuhan, kehidupan manusia tidak boleh diambil sama sekali, karena manusia diciptakan menurut gambar Tuhan.Genesis 9 is the beginning of the story of God's covenant with all of His creation on earth after the flood, represented by Noah. Human life is very precious in the eyes of God, God wants people to love each other not to kill each other, through His love God made a covenant against the vengeance of shedding blood on humans. The method used is qualitative with a word study hermeneutic approach, this study aims to find the meaning of the word "Blood shedding based on Genesis 9:6" from the various different interpretations that occur on the meaning of this text. The results of this study lead to the intentional taking of human life in the sense that the perpetrator already has the intention to commit the crime and has been neatly arranged and has the determination to commit murder, human life should not be taken at all, because humans are created in the image of Lord.


2022 ◽  
Vol 3 (1) ◽  
pp. 81-91
Author(s):  
Anggi Maringan Hasiholan ◽  
Daniel Sihotang

Lukas memberikan porsi tertinggi terkait dengan tema Roh Kudus. ­ Oleh karena itu, pembahasan mengenai pneumatology. Lukas harus diarahkan kepada apa yang sudah, sedang, dan akan dikerjakan atas gereja dan seluruh orang percaya yang adalah tubuh Kristus. Hasil dari karya itu akan berdampak kepada kehidupan jemaat yang bertumbuh secara kualitas dan kuantitas. Namun dewasa ini, Roh Kudus banyak dipandang sebagai kuasa dari luar yang membuat pelayanan seseorang berhasil. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengungkap kembali karya Roh Kudus dalam hidup orang percaya sebagai pribadi dan tubuh Kristus. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pneumatologi Lukas mengarahkan setiap orang percaya masa kini dapat memanifestasikan karya dan kasih Roh Kudus bagi setiap orang. Dengan mengerjakan ini, maka relativitas dunia dalam memahami kasih Tuhan dapat terlihat jelas dalam cara hidup orang percaya yang menjaga harmonisasi seluruh ciptaan.Luke gives the highest portion related to the theme of the Holy Spirit. The Holy Spirit is the person who begins, works, and ends God's work in this world. The results of this work will impact the congregation's life, which grows both in quality and quantity. Nevertheless, the Holy Spirit is widely seen as an external power that makes one's ministry successful. The purpose of this research is to reveal the work of the Holy Spirit in the lives of believers as the person and body of Christ again. The research method used is descriptive qualitative. The results show that Luke's pneumatology directs every believer today to manifest the work and love of the Holy Spirit for everyone. By doing this, the relativity of the world in understanding God's love can see in the way of life of believers who maintain the harmonization of all creation.


2022 ◽  
Vol 3 (1) ◽  
pp. 1-12
Author(s):  
Soleman Kawangmani

Pemberitaan Injil selalu berhadapan dengan budaya pendengar. Pengenalan budaya dan pemanfaatannya sebagai jembatan komunikasi akan mengefektifkan pemberitaan Injil.  Sebaliknya, pengabaian budaya dapat mengakibatkan penolakan atau penerimaan dan penghayatan Injil yang sinkretis. Tujuan penelitian ini yaitu menemukan suatu desain pemberitaan Injil berbasis pengenalan budaya rumpun keluarga bersuku Jawa. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus. Pengumpulan data melalui wawancara mendalam dan pengataman kepada keluarga Suk yang bersuku Jawa di Surakarta dan studi pustaka. Peneliti menemukan worldview keluarga Suk sebagai inti budaya yaitu animisme. Untuk menjangkau keluarga suku Jawa berorientasi keagamaan animisme dengan Injil, peneliti mengusulkan suatu “Desain Pemberitaan Injil-6P”, terdiri dari enam komponen yaitu persiapan penginjil; ‘dambaan keselamatan,  hidup bahagia dan tenteram’ sebagai point of contact Injil dan budaya,  pentahapan isi berita Injil, pelaksanaan pemberitaan Injil, pentingnya motivasi kasih, doa dan pertolongan Roh Kudus, serta pemuridan korektif sebagai basis pelayanan lanjutan. Keenam komponen desain ini harus diintegrasikan dalam pelaksanaannya.The preaching of the gospel is always dealing with the culture of the listener. The introduction of culture and its use as a communication bridge will make the preaching of the gospel more effectively. On the other hand, cultural neglect can lead to rejection or acceptance and a syncretic living of the gospel. The purpose of this study is to find a design for preaching the gospel based on the introduction of Javanese family culture. This research uses a qualitative approach with a case study method. Collecting data through in-depth interviews and observations of the Javanese Suk family in Surakarta and literature study. The researcher found the worldview of the Suk family as the core of culture, namely animism. To reach Javanese families with animistic religious orientation with the Bible, the researcher proposes a “Gospel Preaching Design-6P”, consisting of six components, namely preparation of evangelists; 'desire for salvation, happy and peaceful life as a point of contact with the Gospel and culture, phasing out the contents of the gospel message, carrying out the preaching of the gospel, the importance of love motivation, prayer and the help of the Holy Spirit, as well as corrective discipleship as the basis for continued ministry. These six design components must be integrated into their implementation.


2022 ◽  
Vol 3 (1) ◽  
pp. 58-69
Author(s):  
Stefanus Rachmad Budiman ◽  
Alfredo Lamborgini Elya ◽  
Dewi Juliati Bate'e

Terkoneksinya antara dunia fisik dengan dunia digital sebagai ciri dari Masyarakat 5.0 memicu perubahan-perubahan kultur dalam kehidupan masyarakat. Hal ini memerlukan respons Gereja yang berbeda, baik pada konteks teologi maupun praksis transformasi. Upaya transformasi terlihat cenderung bersifat parsial, di antara pengutamaan pemberitaan Injil atau tanggungjawab sosial. Hal ini terjadi karena adanya tarik menarik pengaruh teologi yang bersifat membedakan (polarization) ataupun  menyamakan (equalization) diantara keduanya, sehingga dampak transformasi kurang optimal. Dibutuhkan model upaya transformasi yang bersifat integratif dan relevan. Penelitian mencoba mengkaji kehadiran Kristus dalam menyatakan Kerajaan Allah tidak sebatas berita pertobatan juga melibatkan diri-Nya dalam pergumulan sosial masyarakat. Praksis-Nya  melampaui upaya ekualisasi ataupun polarisasi tetapi menekankan urgensi integrasi keduanya. Praksis ini akan ditawarkan menjadi  model transformasi masyarakat di Indonesia. Penelitian dilakukan melalui metode hermeneutika dengan memberi tekanan pada analisis historis dan sosial terhadap beberapa bagian teks tertentu dalam Injil berkenaan dengan kehadiran Kerajaan Allah yang digagas Yesus.The connection between the physical world and the digital world as a characteristic of Society 5.0 has triggered cultural changes in the lives of society. These cultural changes will require a different Church response, be it in theological context as well as transformation praxis. The existing transformation efforts is often seen as partial, between prioritizing the preaching of the gospel or social responsibility. This is due to the tug-of-war effect between the two theological influences with differentiating nature (polarization) or equalizing nature (equalization), so that the transformation impact is perceived as nonoptimal. A model of transformative effort that is integrative and relevant is needed. The research tries to examine the presence of Christ in proclaiming the Kingdom of God which was not only limited to conveying the message of repentance but also involved Himself in the social struggles of society. His praxis go beyond equalization or polarization and instead emphasize the urgency of the integration of the two. This praxis will be offered as a society transformation model in Indonesia. This research is conducted by hermeneutic method with emphasize on historical and social analysis towards certain texts of the Bible regarding the presence of the Kingdom of God initiated by Jesus.


2022 ◽  
Vol 3 (1) ◽  
pp. 13-24
Author(s):  
Paulus Dimas Prabowo

Allah yang begitu kreatif tidak hanya memakai beragam jenis orang untuk menuliskan wahyu-Nya, tetapi juga memakai bermacam jenis sastra (genre) yang dikenal dalam peradaban manusia. Itu sebabnya, metode dalam mempelajari dan menganalisa sebuah teks bisa berbeda satu sama lain, tergantung jenis sastranya. Belakangan, hasil-hasil penelitian biblika telah melirik jenis sastra sebagai pertimbangan utama dalam menggali dan menemukan makna. Hal senada juga seyogyanya dianut oleh para peneliti biblika di negeri ini. Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana menganalisis teks alkitabiah dalam genre puisi Perjanjian Lama. Sebab, tidak jarang pelajar Alkitab menggali buku puisi dengan prosedur yang tidak semestinya. Cara penggalian kitab puisi tidak sama dengan cara penggalian kitab narasi, epistolari, dan genre lainnya. Oleh karena itu penulis mencoba menyajikan suatu cara untuk menganalisis kitab-kitab puisi Perjanjian Lama, guna membekali pembaca dengan prosedur yang tepat dalam menggali teks-teks puisi Perjanjian Lama. Metode yang dipakai dalam artikel ini ialah studi literatur, di mana data-data dalam artikel ini diperoleh dari beragam sumber dengan topik terkait.God who is so creative not only used various types of people to write His revelations but also used various types of literature (genre) known in human civilization. That is why, the methods of studying and analyzing a text may differ from one another, depending on the type of literature. Recently, the results of biblical research have looked at the type of literature as the main consideration in finding the meaning. The same thing should also be adopted by biblical researchers in this country. This article aims to explain how to analyze biblical texts in the genre of Old Testament poetry. Because it is not uncommon for students to find poetry book Bibles with improper procedures. Writing poetry is not the same as telling stories about narrative, epistolary, and other genres. Therefore, the writer tries to present a way to analyze the Old Testament poetry books, in order to equip the readers with the right procedure in capturing the Old Testament poetry texts. The method used in this article is to find a literature study, where the data in this article were obtained from various sources with related topics.


2021 ◽  
Vol 2 (2) ◽  
pp. 119-133
Author(s):  
Daniel Lindung Adiatma ◽  
Saul Arlos Gurich

There is a tendency for many commentator of the New Testament to interpret the text with a topical approach. This approach is relevant for research in the field of Christian theology. The problem is, the topical approach has a tendency to ignore the unity of the elements of the book. Therefore, we need a model of topical interpretation that is perfected with the unity of the theology of the book. The topic of the theological meaning of the word "rest" has attracted the attention of interpreters recently. These topics are the small sections that make up the theology of the book of Hebrews as a whole. This article presents three analyzes (textual, contextual and intertextual) as an approach to finding the theological meaning of the word "rest" in Hebrews 4:1-14. The author considers the book of Hebrews as the final form to find the meaning of the word "rest" in the theological context of the book of Hebrews. The author tries to synchronize the three approaches in finding the progressive meaning of the word "cessation" in both the Old Testament and the New Testament. The results of research through these three approaches have shown an increase in the meaning of the word "rest" from the context of the Old and New Testaments. Finally, this article can support the theory of progressive revelation that dispensational evangelicals have long believed.Ada kecenderungan penafsir kitab Perjanjian Baru menafsirkan teks dengan pendekatan topikal. Pendekatan ini relevan bagi penelitian pada bidang teologi Kristen. Masalahnya, pendekatan topikal memiliki kecenderungan mengabaikan kesatuan unsur-unsur kitab. Oleh karena itu, diperlukan suatu model penafsiran topikal yang disempurnakan dengan kesatuan teologi kitab. Topik tentang makna teologi kata “perhentian” menarik perhatian para penafsir pada akhir-akhir ini. Topik tersebut merupakan bagian kecil yang membangun teologi kitab Ibrani secara keseluruhan. Artikel ini memaparkan tiga analisa (tekstual, kontekstual dan intertekstual) sebagai pendekatan untuk menemukan makna teologi kata “Perhentian” dalam kitab Ibrani 4:1-14. Penulis mempertimbangkan kitab Ibrani sebagai bentuk akhir untuk menemukan makna kata “perhentian” dalam konteks teologi kitab Ibrani. Penulis berusaha melakukan sinkronisasi tiga pendekatan tersebut dalam menemukan progresifitas makna kata “Perhentian” baik dalam kitab Perjanjian Lama maupun kitab Perjanjian Baru. Hasil penelitian melalui tiga pendekatan tersebut telah menampilkan adanya peningkatan makna kata “Perhentian” dari konteks Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Akhirnya, artikel ini dapat mendukung teori pewahyuan progresif yang selama ini diyakini oleh kaum injili dispensasi.


2021 ◽  
Vol 2 (2) ◽  
pp. 109-118
Author(s):  
Daud Saleh Luji ◽  
Indriani Lopo ◽  
Ana V. Soinbala

The purpose of writing this article is to determine the involvement and activeness of Christian Religious Education Teachers at Public Middle Schools in Kupang City in the ministry of clerical affairs as presbyters and as categorical servants, especially in the category of children and adolescents or what is often called Sunday school. The method used in this study is a qualitative method by interviewing 41 Christian Religious Education Teachers spread across 12 State Public Middle Schools in the city of Kupang, East Nusa Tenggara. From the results of the study, it was found that although this Christian Religious Education teacher had a correct understanding of the background of his attendance at school, namely Christian Religious Education teachers were church servants sent to serve congregations in schools, but most Christian Religious Education teachers did not have a relationship with the church. or not yet involved in the church ministry where he is a member, either as a presbyter or as a minister of children and youth (Sunday school). This conclusion was stated based on the informant's admission during the interview that 1) They did not have free time to be involved in church services, 2) Church services had many people taking care of it so they did not need to be involved, 3) Christian religious education teachers were paid by the state, not church so that they focus more on taking care of teaching in schools than in church.Tujuan dari penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui keterlibatan dan keaktifan Guru-guru PAK yang ada di Sekolah Menengah Umum (SMU) Negeri se-Kota Kupang dalam pelayanan bidang kemajelisan gereja sebagai presbiter dan sebagai pelayan kategorial khususnya kategorial anak dan remaja atau yang sering disebut sekolah minggu. Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan mewawancarai 41 Guru PAK yang tersebar di 12 SMU Negeri yang ada di wilayah Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa walaupun Guru PAK ini memiliki pemahaman yang benar tentang latarbelakang kehadirannya di sekolah yaitu guru PAK adalah pelayan gereja yang diutus untuk melayani jemaat di sekolah-sekolah, namun sebagian besar guru PAK belum memiliki hubungan dengan gereja atau belum terlibat dalam pelayanan gereja, dimana ia sebagai anggotanya, baik sebagai presbiter maupun sebagai pelayan anak dan remaja (sekolah minggu).  Kesimpulan tersebut dikemukakan berdasarkan pengakuan informan pada saat wawancara bahwa 1) Mereka tidak punya waktu luang untuk terlibat dalam pelayanan di gereja, 2) Pelayanan gereja sudah banyak orang yang mengurusnya karena itu mereka tidak perlu terlibat, 3) Guru PAK digaji oleh negara bukan gereja sehingga mereka lebih fokus mengurus pengajaran di sekolah dari pada di gereja.


2021 ◽  
Vol 2 (2) ◽  
pp. 96-108
Author(s):  
David Eko Setiawan ◽  
Silas Dismas Mandowen

Forests are habitats for various species of living things. Their survival depends heavily on the preservation of their habitat. However, many forests have been damaged by human actions. It also poses a variety of ecological problems. This condition should encourage the church to find the right solution to the problem. Through the cultural mandate attached to it, the church is expected to play an active role in preserving forests. This can be realized through a pastoral approach oriented towards the involvement of the congregation in preserving forests from irresponsible actions. This research aims to show how important the role of the church in preserving forests. Through a concrete pastoral approach, the church can answer the cultural mandate.  The method used in this study is the literature method. The results of this study show that based on the principles of cultural mandate in the Bible, the church is required to be actively involved in addressing ecological problems. The involvement is manifested in the pastoral approach to the congregation by educating them about the nature of forests and through practical actions involving them to preserve forests as habitats for various species of living beings.  Hutan merupakan habitat bagi berbagai spesies mahkluk hidup. Kelangsungan hidup mereka sangat bergantung pada pelestarian habitatnya. Namun demikian banyak hutan yang telah rusak akibat ulah manusia. Hal itu rupanya juga menimbulkan berbagai problem ekologi. Kondisi ini seharusnya mendorong gereja untuk mencari solusi yang tepat atas masalah tersebut. Melalui mandat budaya yang melekat padanya, gereja diharapkan berperan aktif dalam melestarikan hutan. Ini dapat diwujudkan melalui pendekatan pastoral yang berorientasi kepada keterlibatan jemaat dalam melestarikan hutan dari tindakan yang tidak bertanggung jawab. Penelitian ini bertujuan untuk menunjukan betapa pentingnya peran gereja dalam melestarikan hutan. Melalui sebuah pendekatan pastoral yang konkrit, gereja dapat mengejawantahkan mandat budaya tersebut.  Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kepustakaan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa berdasarkan prinsip-prinsip mandat budaya yang ada di dalam alkitab, gereja dituntut untuk terlibat aktif dalam mengatasi problem ekologi. Keterlibatan itu diwujudkan dalam pendekatan pastoral kepada jemaat dengan mengedukasi mereka tentang hakikat hutan serta melalui tindakan-tindakan praktis yang melibatkan mereka untuk melestarikan hutan sebagai habitat bagi berbagai spesias mahkluk hidup.


Sign in / Sign up

Export Citation Format

Share Document